Harus Bangun Kemitraan Untuk Tingkatkan Produksi Gula
Amanat UU No.39/2014 tentang Perkebunan yang mengatur bahwa industry gula harus memiliki lahan tebu sendiri, adalah sejalan dengan pemikiran Komisi VI DPR untuk melindungi petani tebu. Persoalannya dari 11 pabrik gula (PG) swasta yang ada di Lampung belum semuanya mematuhi ketentuan tersebut.
“ Karena itu kami mendesak UU tersebut harus dilaksanakan dengan konsisten. Pemerintah harus tegas menjalankan amanat UU tersebut dan DPR juga menegakkan fungsi pengawasannya,” ungkap anggota Komisi VI DPR Dwie Aroem Hadiati di sela-sela kunker spesifik di Lampung, Selasa (16/6).
Menurut politisi FPG ini, untuk Propinsi Lampung, lahan diatas 10 ribu ha sudah sangat sulit didapatkan, sehingga PG harus membangun kemitraan dengan petani tebu atau memberdayakan masyarakat untuk menanam tebu. “ Jadi memang harus ada kemitraan antara pemilik PG yang tidak memiliki lahan yang cukup dengan petani tebu dan masyarakat untuk meningkatkan produksi gula nasional,” tegasnya lagi.
Secara tegas Sekretaris Pemprop Lampung telah mengingatkan bahwa lahan diatas 10 ribu ha sudah tidak ada lagi sehingga harus bermitra dengan masyarakat. “Pengusaha gula rafinasi, kami bisa membantu lahan 1.000 ha, tetapi kalau diatas 10 ribu ha jangan harap kecuali bermitra dengan masyarakat atau kawasan hutan,” ungkap Arinal tegas.
Dwie Aroem mendukung Pemprop Lampung agar pengusaha gula rafinasi untuk menyetop impor gula mentah saat petani tebu paneh raya pada April-September meski masalah ini terkait kebijakan Kemeneterian Perindustrian, Perdagangan dan BKPM. “ Komisi VI setuju penghentian impor gula mentah tersebut sehingga petani tebu khususnya di Lampung akan terlindungi,” ujarnya.
Terkait dengan kondisi tersebut, dia mengaku tekad mewujudkan swasembada gula masih sulit dicapai, sebab masih banyak hal yang harus dibenahi terkait dengan tata niaga gula. Selain itu harus ada road map yang jelas antara kementerian terkait baik perindustrian, perdagangan dan BUMN. “ Selama belum ada road map yang jelas, bagaimana kita mau mencapai swasembada gula dalam 5 tahun ini. Tapi UU No.39/2014 sudah mengarah terhadap perlindungan petani tebu. Ini perlu diapresiasi,” katanya.
Ia menambahkan, salah satu tujuan kunker ke Lampung terkait masalah gula adalah mengevaluasi apakah UU No 39/2014 tersebut sudah dilaksanakan atau belum dan ingin mengetahui di mana masalahnya untuk selanjutnya dibahas di tingkat pusat. Satu lagi apakah gula rafinasi di Lampung ada rembesan keluar dari ijin impor yang diberikan. “ Komisi VI juga meski tahu masalah ini sehingga tidak merugikan masyarakat,” ungkap Dwie Aroem menjelaskan. (mp), foto : mastur prantono/parle/hr.